Gratisan Musik
Selasa, 28 Oktober 2008
Buai Tumi kemudian kemudian dapat dipengaruhi empat orang pembawa Islam berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana. Mereka adalah Umpu Nyerupa, Umpu Lapah di Way, Umpu Pernong, dan Umpu Belunguh. Keempat umpu inilah yang merupakan cikal bakal Paksi Pak sebagaimana diungkap naskah kuno Kuntara Raja Niti. Namun dalam versi buku Kuntara Raja Niti, nama poyang itu adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati. Berdasarkan Kuntara Raja Niti, Hilman Hadikusuma menyusun hipotesis keturunan ulun Lampung sebagai berikut:
Inder Gajah
Gelar: Umpu Lapah di WayKedudukan: PuncakKeturunan: Orang Abung
Pak Lang
Gelar: Umpu PernongKedudukan: HanibungKeturunan: Orang Pubian
Sikin
Gelar: Umpu NyerupaKedudukan: SukauKeturunan: Jelma Daya
Belunguh
Gelar: Umpu BelunguhKedudukan: KenaliKeturunan: Peminggir
Indarwati
Gelar: Puteri BulanKedudukan: GanggiringKeturunan: Tulangbawang
Inder Gajah
Gelar: Umpu Lapah di WayKedudukan: PuncakKeturunan: Orang Abung
Pak Lang
Gelar: Umpu PernongKedudukan: HanibungKeturunan: Orang Pubian
Sikin
Gelar: Umpu NyerupaKedudukan: SukauKeturunan: Jelma Daya
Belunguh
Gelar: Umpu BelunguhKedudukan: KenaliKeturunan: Peminggir
Indarwati
Gelar: Puteri BulanKedudukan: GanggiringKeturunan: Tulangbawang
Sabtu, 25 Oktober 2008
Nilai-nilai masyarakat Lampung tercermin pula dalam bentuk kesenian tradisional, mulai dari tari tradisional, gitar klasik Lampung, sastra lisan, sastra tulis, serta dalam bentuk upacara kelahiran, kematian dan kematian. Pembinaan terhadap seni budaya daerah ini dilakukan oleh pemerintah daerah dan lembaga adat secara sinergis. Pada tahun 2006 terdapat sejumlah organisasi kesenian, baik yang bersifat seni tradisional maupun kreasi baru, yang tersebar di berbagai daerah di Lampung. Cabang organisasi tersebut meliputi 127 organisasi seni tari, 87 organisasi seni musik, 15 organisasi seni teater, dan 30 organisasi seni rupa.
Provinsi Lampung dikenal juga dengan julukan “Sang Bumi Ruwa Jurai” yang berarti satu bumi yang didiami oleh dua macam masyarakat (suku/etnis), yaitu masyarakat Pepadun dan Saibatin. Masyarakat pertama mendiami daratan dan pedalaman Lampung, seperti daerah Tulang Bawang, Abung, Sungkai, Way Kanan, dan Pubian, sedangkan masyarakat kedua mendiami daerah pesisir pantai, seperti Labuhan Maringgai, Pesisir Krui, Pesisir Semangka (Wonosobo dan Kota Agung), Balalau, dan Pesisir Rajabasa.
Masyarakat Lampung memiliki bahasa dan aksara sendiri, namun penggunaan bahasa Lampung pada daerah perkotaan masih sangat minim akibat heterogenitas masyarakat perkotaan dan karena itu penggunaan Bahasa Indonesia lebih menonjol. Untuk daerah pedesaan, terutama pada perkampungan masyarakat asli Lampung (riyuh ataupun pekon), penggunaan Bahasa Lampung sangat dominan. Bahasa Lamapung terdiri dari dua dialek, pertama dialek “O” yang biasanya di gunakan oleh masyarakat Pepaduan, meliputi Abung dan Menggala: serta dialek “A” dan umumnya digunakan masyarakat Saibatin, seperti Labuhan meringis, Pesisir Krui, Pesisie Semangka, Belalau, Ranau, Pesisir Rajabasa, Komering, dan Kayu Agung. Namun demikian ada pula masyarakat Pepaduan yang menggunakan dialek “A” ini, yaitu Way Kanan, Sungkai, dan Pubian. Di samping memiliki bahasa daerah yang khas, masyarakat Lampung juga memiliki aksara sendiri yang disebut dengan huruf kha gha nga. Aksara dan Bahasa Lampung itu menjadi kurikulum muatan lokal yang wajib dipelajari oleh murid-murid SD dan SMP di seluruh Provinsi Lampung.
Nilai-nilai budaya masyarakat Lampung bersumber pada falsafah Piil Pasenggiri, yang terdiri atas:
Piil Pasanggiri (harga diri, perilaku, sikap hidup):
Masyarakat Lampung memiliki bahasa dan aksara sendiri, namun penggunaan bahasa Lampung pada daerah perkotaan masih sangat minim akibat heterogenitas masyarakat perkotaan dan karena itu penggunaan Bahasa Indonesia lebih menonjol. Untuk daerah pedesaan, terutama pada perkampungan masyarakat asli Lampung (riyuh ataupun pekon), penggunaan Bahasa Lampung sangat dominan. Bahasa Lamapung terdiri dari dua dialek, pertama dialek “O” yang biasanya di gunakan oleh masyarakat Pepaduan, meliputi Abung dan Menggala: serta dialek “A” dan umumnya digunakan masyarakat Saibatin, seperti Labuhan meringis, Pesisir Krui, Pesisie Semangka, Belalau, Ranau, Pesisir Rajabasa, Komering, dan Kayu Agung. Namun demikian ada pula masyarakat Pepaduan yang menggunakan dialek “A” ini, yaitu Way Kanan, Sungkai, dan Pubian. Di samping memiliki bahasa daerah yang khas, masyarakat Lampung juga memiliki aksara sendiri yang disebut dengan huruf kha gha nga. Aksara dan Bahasa Lampung itu menjadi kurikulum muatan lokal yang wajib dipelajari oleh murid-murid SD dan SMP di seluruh Provinsi Lampung.
Nilai-nilai budaya masyarakat Lampung bersumber pada falsafah Piil Pasenggiri, yang terdiri atas:
Piil Pasanggiri (harga diri, perilaku, sikap hidup):
- Nengah nyappur (hidup bermasyarakat, membuka diri dalam pergaulan):
- Nemui nyimah (terbuka tangan, murah hati dan ramah pada semua orang)
- Berjuluk Beadek (bernama, bergelar, saling menghormati)
- Sakai Sambayan (gotong royong, tolong menolong)
Langganan:
Postingan (Atom)